Biografi Aisyah Bintu Abu Bakr

Aisyah Bintu Abu Bakr Belahan Jiwa Rasulullah

Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr
bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah
al-Makkiyyah Radhiyallahu ‘Anha. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga
mendapat sebutan al-Humaira’. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin
‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah
memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam
asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, seorang sahabat yang
mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.
Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi
Wasallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam
melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala kepada Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam dalam wahyu berupa
mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah Sholallahu
‘Aliaihi Wasallam menjemputnya –tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran
Badr – untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu
pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam di tengah
kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk
memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam
hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru
manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu Wata’ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih
kecintaan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala
Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga
para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam dalam
hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga
tiba saatnya Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam berada di tempat ‘Aisyah. Di sisi lain, ada
istri-istri Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari
tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka
sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah Sholallahu
‘Aliaihi Wasallam agar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah,
hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya,
namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali
Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak
memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha
mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan
‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di
dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Dari banyak peristiwa
yang dialaminya, Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah
turut dalam perjalanan Rasulullah Subahanahu Wata’ala. Rombongan itu pun singgah di suatu
tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu
dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.

Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam
rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat.
Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu’.
Tatkala bertemu dengan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, mereka mengeluhkan hal ini
kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair Radhiyallhu Anhu mengatakan kepada ‘Aisyah,
“Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama
sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu,
dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah Subhanahu Wata’ala
menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam
dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha turut dalam rombongan itu.
Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pergi
untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk
mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun.
‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia
tertidur.

Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal Radhiyallahu ‘Anhu yang tertinggal dari
rombongan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’
(Mengucapkan Innalillahi Wa inna ilaihi Rajiun -red) dan ‘Aisyah terbangun mendengar
ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk
naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita
bohong tentang ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan
kaum muslimin, termasuk Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak
mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja
ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi
Wasallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah Radhiyallahu
‘ANHA. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah Sholallahu
‘Aliaihi Wasallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun
mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah
Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid
Radhiyallahu ‘Anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,
mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu
Wata’ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku
terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah,
aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam
permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat  akan
melihat mimpi yangρyang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah  dengannya Allah
membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin
hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam
hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Delapan belas tahun
usianya, saat Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di
kamar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

Sepeninggal beliau, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam
rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat
dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam
menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh
makanan.” Bahkan Jibril menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam.

Tiba waktunya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat
pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya,
keharumannya namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah
meridhainya.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
 

0 komentar:

Posting Komentar