Bid'ah

Pembagian Bid'ah Dan Hukum Bid'ah Dalam Agama Islam


>> PEMBAGIAN BID’AH.[1]

1. Bid’ah Haqiqiyah.
Yakni bid’ah yang tidak memiliki indikasi dari syar’i baik dari Kitabullah, dari Sunnah dan Ijma’. Dan juga tidak ada dalil yang
digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal
yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya[2].
Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ahnya Qadariyah, bid’ahnya
Murji’ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para Shahabatnya
Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan
maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Isra’ Mi’raj dan lainnya.

2. Bid’ah Idhafiyah.
Adapun bid’ah Idhafiyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi
ini dia bukan bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya sama-sekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid’ah
haqiqiyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia
adalah bid’ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.
Adapun perbedaan atara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari
sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil.
Bid’ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.
Atas dasar ini, maka bid’ah Haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai
pelang-garan murni dan keluar dari syari’at sangat jelas, seperti ucapan kaum Qadariyah yang menyatakan baik dan buruk
menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah[3], mengingkari adanya Ijma’, mengingkari haramnya khamer,
mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum[4] (terpelihara dari dosa)... dan hal-hal lain yang seperti itu[5]. 
Dikatakan bid’ah Idhofiyah artinya bahwa bid’ah bila ditinjau dari satu sisi disyari’atkan tapi dari sisi lain ia hanya pendapat
belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan
tidak di-dukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi[6].

>>  HUKUM BID’AH DALAM AGAMA ISLAM.

Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Suabhnahu wa
Ta'ala berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maaidah: 3]


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk
Nabi Muhammad 'Alaihi Shallatu wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam
agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
salla
"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat.”[7]


Demikian juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya :Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak”[8]


Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu
sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu
sendiri.
Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri
kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada mereka,
meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.
Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas
kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.
Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bid’ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa
sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain[9]
Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu
tiga generasi yang terbaik (Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in) yang disaksikan oleh Nabi bahwa mereka adalah sebaik-baik
manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada bid’ah
yang hasanah.

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:

"Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik.” [10]

Imam Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 61 H)[11] berkata:

"Artinya : Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin dia untuk
bertobat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.” [12]
 

Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun
akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip
kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari
jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan
lurus dan keluar dari Islam.”[13]
_________
Foote Note

[1]. Lihat al-I’tisham (I/367), dan seterusnya.
[2]. Ibid.
[3]. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan orang-orang yang serupa dengannya. Lihat kitab ‘Ilmu Ushuulil Bida’
(hal. 148).
[4]. Seperti yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah.
[5]. Al-I’tisham (I/221). 
[6]. Ibid.
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih,
dari Shahabat ‘Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu 'anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. 
[9]. Lihat Kitabut Tauhid (hal. 82 ) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Nuurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah (hal.
76-77).
[10]. Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbary fil
Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushulil Bid’ah (hal. 92).
[11]. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri. Abu ‘Abdillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah,
faqih, ahli ibadah dan Imamul hujjah. Beliau meninggal pada tahun 61 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau di dalam
kitab Taqriibut Tahdziib (I/371).
[12]. Riwayat al-Lalikaiy dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 238.
[13]. Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahary (no. 7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radady, cet. II-Daarus Salaf, th. 1418 H.

0 komentar:

Posting Komentar